Selasa, 01 Mei 2012

Politik Hukum Perjanjian Internasional Indonesia : Suatu Usulan

Di era globalisasi saat ini, setiap negara tidak bisa lagi menghindari adanya saling mempengaruhi kepentingan. Jika dahulu perebutan pengaruh menggunakan jalan kekerasan (perang) maka saat ini forum yang digunakan sebagai arena “peperangan” adalah perjanjian internasional. Pada setiap perjanjian internasional (bilateral/multilateral) kepentingan setiap negara dipertaruhkan.
Indonesia tentu saja tidak bisa menolak arus globalisasi. Perjanjian-perjanjian internasional yang diikuti pada akhirnya ikut mempengaruhi hukum nasional (TRIPs dan WTO). Bukan hanya itu, materi perjanjian internasional saat ini jauh lebih kompleks, tidak hanya mengatur hak dan kewajiban antarnegara, namun juga mengurusi individu di dalam suatu negara. Dengan alur pemikiran seperti ini maka perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia harus dilihat sebagai kepanjangan tangan dari perjuangan kepentingan nasional di forum internasional. Dengan demikian, politik hukum perjanjian internasional Indonesia harus dibangun atas pondasi seperti itu.
Sejatinya, kepentingan nasional Indonesia sudah tercatat dalam UUD 1945. Agar seluruh kepentingan dapat dilaksanakan secara maksimal maka kekuasaan untuk melaksanakanya dibagi kepada tiga lembaga (trias politika) yakni; eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR) dan yudikatif (MA+MK). Tujuanya adalah agar ketiga lembaga tersebut bisa saling mengawasi sehingga kekuasaan tidak terpusat pada satu lembaga saja.
Ihwal pelaksanaan kepentingan nasional, UUD 1945 memberikan amanatnya kepada lembaga eksekutif (pemerintah/presiden) untuk melaksanakanya, hal ini termasuk didalamnya membuat perjanjian internasional sebagai perpanjangan tangan kepentingan nasional. Maka tidak heran jika kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang termasuk di dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Oleh karena UUD 1945 merupakan politik hukum Indonesia, maka politik hukum perjanjian internasional Indonesia juga harus bersumber dari sana.
Pasal 11 UUD 1945 terdiri dari tiga ayat, yaitu
1)      Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, damai dan membuat perjanjian dengan negara lain
2)      Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahaan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR
3)      Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang
Pasal 11 ayat (1) dengan redaksi yang singkat menyatakan bahwa untuk membuat perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Akan tetapi tidak dijelaskan dalam bentuk apa persetujuan itu dihasilkan. Menurut Bagir Manan, jika dikaitkan dengan salah satu kewenangan DPR, yaitu legislasi, maka persetujuan itu berbentuk UU. Namun, jika menggunakan tafsiran historis, Damos D. Agusman menyatakan persetujuan itu tidak hanya berupa UU, bisa bentuk lain yang bersifat formil. Pada titik inilah, penulis mengasumsikan bahwa persetujuan DPR terkait perjanjian internasional tidak terkait fungsi legislasi DPR melainkan fungsi lainnya yaitu fungsi pengawasan. Asumsi tersebut penulis peroleh sebagai suatu perimbangan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif. Dengan demikian, bentuk UU sebagai penafsiran persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 (ayat 1 dan 2) bukanlah suatu yang imperatif.
Kerumitan ini sebenarnya coba dipecahkan dengan diundangkanya UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Akan tetapi niat baik tersebut malah membuahkan kerumitan lainnya. Dalam UU tersebut kata-kata “persetujuan DPR” tidak muncul, yang ada adalah kata pengesahan. Pada Pasal 1 butir 2, pengesahan diartikan sebagai “perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan penyetujuan.”
Arti kata pengesahaan tersebut sebenarnya merupakan adopsi dari Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 2 ayat 1 (b) yaitu :
“Ratification, acceptance, approval and accession mean in each case the international act so named whereby a State establishes on international plane its consent to be bound.”
Berdasarkan hal tersebut maka arti pengesahan dalam UU No. 24 tahun 2000 merupakan suatu tindakan internasional (eksternal) dan tidak ada kaitanya dengan aturan hukum Indonesia (internal) soal perjanjian internasional.
Namun, kerancuan akan terlihat dalam Bab III tentang Pengesahan Perjanjian Internasional Pasal 9 ayat (1) dan (2). Pada ayat 1, definisi pengesahan merupakan suatu tindakan internasional (eksternal) sesuai yang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional, akan tetapi dalam ayat 2, pengesahan perjanjian internasional mendapat arti yang berbeda, sebagai tindakan internal, yaitu melalui UU atau Keppres. Jika demikian, apakah suatu perjanjian internasional berlaku bagi Indonesia setelah adanya pengesahan menurut ayat 1 atau ayat 2?
Apabila mengacu pada Pasal 24 Konvensi Wina 1969, suatu perjanjian internasional berlaku bagi negara apabila telah menyatakan terikat (consent to be bound) dengan cara-cara yang ditentukan oleh suatu perjanjian internasional (bisa ratifikasi, penerimaan, penyetujuan, aksesi). Konvensi Wina 1969 tidak mengatur bagaimana prosedur hukum internal suatu negara mengakui suatu perjanjian internasional
Pasal 11 UUD 1945 jo Pasal 9 UU No. 24 tahun 2000 merupakan prosedur hukum internal Indonesia (politik hukum) yang mengatur bagaimana Indonesia terikat atas perjanjian internasional. Jika ditafsirkan secara sistematis, pengesahan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000 merupakan turunan dari kata “persetujuan DPR” dalm Pasal 11 UUD 1945. Dengan demikian, pengesahan dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 24 tahun 2000 harus dilakukan sebelum adanya pengesahan eksternal yang terdapat dalam Pasal 9 ayat 1.
Asumsi penulis, posisi ayat 2 dan 1 dalam Pasal 9 UU No. 24 tahun 2000 adalah terbalik. Alasanya, dalam kebiasaan hukum perjanjian internasional biasanya diberikan jeda waktu antara penandatangan perjanjian internasional dengan proses ratifikasi/akses/penyetujuan/penerimaan. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang dan waktu bagi mekanisme hukum internal suatu negara bekerja, apakah menyetujui atau tidak. Proses ini tentu saja terkait, sekali lagi, dengan proses check and balances sebab yang bertindak sebagai pelaku pembuatan perjanjian internasional adalah eksekutif (pemerintah/negara)
Mekanisme hukum internal terkait berlakunya perjanjian internasional merupakan suatu keniscayaan. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia menganut monisme atau dualisme terkait hal tersebut berdasarkan ketentuan tersebut di atas. Persetujuan lembaga legislatif dalam pengikatan perjanjian internasional suatu negara merupakan suatu yang lazim. Belanda misalnya, Persetujuan Parlemen dituangkan dalam bentuk UU (wet) namun digarisbawahi pula bahwa Wet ini hanya format persetujuan Parlemen dan bukan dimaksudkan sebagai wet dalam arti yang lazim. Sekalipun parlemen sudah menyetujui, tidak otomatis raja berkewajiban untuk meratifikasinya (Damos D. Agusman: http://www.antaranews.com/berita/268734/apakah-mk-bisa-menguji-piagam-asean)
Atas perbandingan itulah, Damos D. Agusman berpendapat, harusnya Indonesia juga menerapkan apa yang dilakukan Belanda, dengan asumsi bahwa sistem hukum Indonesia berakar pada pola pikir Eropa Kontinental yang pada umumnya berkarakter monisme (2010; hlm 143). Selain itu, asumsi yang digunakan adalah soal efektifitas waktu dan biaya. Jika menggunakan monisme maka Indonesia tidak perlu repot untuk mentransformasi perjanjian internasional dalam bentuk UU yang akan memakan biaya dan waktu (hlm.142)Usulan ini tentu saja harus diuji sebelum dapat diterima.
Apabila mengacu pada Pasal 11 UUD 1945 jo Pasal 9 UU No.24 tahun 2000 maka politik hukum perjanjian internasional Indonesia masih belum tegas. Keharusan adanya persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tidak memberikan sinyal monisme ataupun dualisme. Ketentuan pengesahan dalam bentuk UU/Keppres juga tidak dapat diartikan bahwa kita menganut dualisme yang mengharuskan transformasi suatu perjanjian internasional. Pada titik ini saya sepakat dengan ide Damos D. Agusman, bahwa UU/Keppres pengesahan perjanjian internasional hanyalah “jubah” persetujuan DPR, sehingga hanya bersifat formal dan penetapan.

Untuk soal politik hukum perjanjian internasional Indonesia, ide untuk memilih monisme dengan alasan efektifitas waktu dan biaya memang dapat diterima. Akan tetapi, manakah yang lebih baik, monisme dengan primat hukum internasional atau hukum nasional? Dalam hal ini, penulis lebih memilih monisme dengan primat hukum nasional dengan beberapa asumsi dibelakangnya:
1)      Dalam sistem hukum monisme sudah barang tentu pertentangan antara hukum internasional dengan hukum nasional akan terjadi, pada tahap ini maka hukum nasional harus diutamakan. Hal ini terkait dengan kepentingan nasional yang harus didahulukan.
2)      Materi perjanjian internasional yang semakin kompleks dan teknis mau tidak mau akan mempengaruhi pembentukan hukum nasional. Desakan ini tentu saja harus diselaraskan dengan konstitusi
3)      Dengan menganut sistem ini, maka UU/Keppres dapat dijudicial review. Dengan artian bahwa, materi perjanjian internasional sudah diinkorporasi sehingga dapat diuji jika melanggar konsitusi. Hal ini dibenarkan menurut Pasal 46 Konvensi Wina 1969, bahwa perjanjian internasional dapat tidak berlaku apabila melanggar “internal law of fundamental importance”

1 komentar:

  1. Bung Taufiq, bagus sekali ulasan anda, dan memperlihatakan bahwa anda memahami sekali issue ini. Komentar saya:
    1. Sayang sekali, tidak ada suatu negara pun saat ini yg berani menyatakan bahwa dia menganut primat hukum nasional. aliran ini bukan hanya tidak relevan lagi melainkan melawan arus globalisasi itu sendiri.
    2.Pasal 46 Konvensi Wina 1969 tidak bicara soal primat hukum nasional. Judul pasal ini adalah "regarding competence to conclude treaties". Contoh: Presiden meratifikasi (eksternal) suatu perjanjian di bidang hankam padahal belum ada persetujuan DPR, maka pasal 46 ini bisa digunakan, karena "concerned a rule of its internal law of fundamental importance", yaitu pasal 11 UUD 45.

    Btw, I enjoy your analysis.

    Damos Agusman

    BalasHapus