Pendahuluan.
Politik menurut Kamus Politik adalah
seni mengatur dan mengurus negara. Politik mencakup
kebijaksanaan/tindakan yang bermaksud mengambil bagian dalam urusan
kenegaraan/pemerintahan termasuk yang menyangkut penetapan bentuk, tugas
dan lingkup urusan negara.
Sementara definisi Politik Hukum menurut
Moh. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum Di Indonesia, Politik Hukum
adalah Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
negara.
Seiring dengan itu disitir pendapat
Padmo Wahjono bahwa Poltik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Kemudian Teuku
Mohammad Radhie yang mengatakan Poltik Hukum sebagai suatu pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Soedarto mantan ketua Perancang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatakan Poltik Hukum adalah
kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-caitakan.
Dengan gampangnya bahwa Politik Hukum
adalah kebijakan tentang hukum yang akan diberlakukan dan yang dicabut
oleh penguasa negara untuk mencapai tujuan negara/pemerintah.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa
negara mempunyai tujuan dalam hal hukum, dimana tujuan tersebut agar
tercapai dengan maksimal, maka diperlukan hukum yang akan mengawal dari
proses untuk mencapai tujuan, hukum yang diberlakukan maupun yang
dicabut atau tidak diberlakukan.
Hukum sebagai produk poltik ?
Politik dan Hukum mana yang lebih dulu,
apakah poltik melahirkan hukum atau hukum melahirkan politik. Mungkin
pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan antara telor dan ayam, mana yang
lebih duluan. Apakah ayam melahirkan telor atau telor melahirkan ayam.
Mungkin analogi ini tidak jauh beda.
Dalam buku Moh. Mahfud MD Politik Hukum
Di Indonesia dikatakan, …hukum sebagai produk politik dalam pandangan
awam bias dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memposisikan hukum
sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi
dalam tataran ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut
supremasi hukum, politiklah yang harus diposisikan sebagai variabel yang
terpengaruh (dependent vaiable) oleh hukum.
Kita mungkin tidak meperdebatkan mana
yang lebih dulu atau mana yang mempengaruhi (ketergantungan) antara
keduanya. Yang jelas Politik Hukum adalah hukum dimana dia lahir dan
hidup akan dipengaruhi poltik dalam suatu negara (legislative dan
eksekiutif) yang tentu mempertimbangkan kondisi lingkungan/wilayahnya.
Lebih lanjut Mahfud MD mengatakan,
Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang (UU)
sebagai produk hukum pada hakekatnya merupakan adegan kontestasi agar
kepentingan dan aspirasi semua kekuatan poltik dapat terakomodasi di
dalam keputusan politik dan mejadi UU. UU lahir dari kontestasi tersebut
dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan kontestasi
politik itu.
Produk-produk hukum yang dilahirkan oleh
kekuatan poltik di parlemen (legislative dan eksekutif) sangat
dipengaruhi oleh bagaimana iklim politik berlangsung antara kedua
kekuatan politik tersebut. Apakah lebih dominant kekuatan politik
legialatif atau kekuatan politik yang dimainkan oleh eksekutif dalam
konteks kepentingan.
Dengan kata lain, manakala kekuatan
politik di DPR minimal sama dengan kekuatan poltik pemerintah (iklim
demokratis), maka akan melahirkan UU yang membumi atau populis
(responsive). Begitu pula sebaliknya, jika kekuatan politik pemerintah
lebih kuat ketimbang kekuatan poltik legislative (iklim otoriter), maka
akan melahirkan UU yang tidak pro rakyat . Sebut saja contoh misal UU
Pokok Pers pada zaman Orde Baru, dimana DPR tidak berdaya memberikan
masukan yang berbeda dengan pemerintah, DPR sa’at itu hanya dianggap
tukang stempel UU yang sesuangguhnya produk penguasa/ pemerintah. Kita
masih ingat betapa banyaknya penerbitan pers yang dicabut Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) lantaran memberitakan yang dianggap berita
yang tidak bertanggungjawab. Menyebabkan perusahan penerbitan pers
tersebut gulung tikar dan banyak wartawan dan karyawannya terlantar.
Di era reformasi, dimana iklim demokrasi
dalam kehidupan poltik sudah berjalan. Kita melihat kekuatan-kekuatan
politik seperti DPR, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok civil
society lainnya cukup mempengaruhi dalam melahirkan UU di parlemen.
Yang masih segar diingatan kita
bagaimana besarnya desakan kelompok masyarakat (meskipun terbatas
masyarakat tertentu) terhadap RUU Pornografi Dan Pornoaksi, sehingga
rancangan UU tersebut mati sebelum lahir, kemudian gantinya lahir UU
Pornografi. Itupun masih banyak menimbulkan protes dan pengujian
yudisial (judicial review) di MK dari masyarakat.
DPR sebagai representasi rakyat,
mewakili rakyat, maka tentu dalam membuat/ melahirkan produk hokum akan
berpihak kepada kepentingan-kepentingan dengan memperhatikan
aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Namun terkadang masih
banyak juga yang tidak terlalu jauh memikirkan kepentingan masyarakat
banyak yang ia mandati. Kita sering menemui persengkokolan antara
legislatif dengan eksekutif dalam produk hukum, sehingga rakyat selalu
dirugi dan pemerintah bahkan pihak DPR menikmati keuntungan dari
bargaining (persengkokolan) tersebut. Begitu juga dengan pihak lain,
pihak pengusaha. Misalnya masalah tenaga kerja/buruh, buruh yang
dirugikan. Perusahaan tidak ada lagi yang memperkerjakan buruh sebagai
karyawan tetap. Yang ada buruh honor dari pihak ketiga dengan ruang
waktu yang sangat pendek. Buruh terancam PHK setiap sa’at dan perusahaan
tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan uang pesangon. Perusahaan
sangat aman sekali.
Menurut analisis Prof. DR. Mahfud MD
Ketua Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2003 melakukan uji materi
sebanyak 406 kali pengujian Undang-Undang, 97 diantarnya dikabulkan
karena melanggar konstitusi. Ini membuktikan bahwa kualitas legislasi
yang buruk akibat memihak kepentingan tertentu (istilah Mahfud MD, jual
beli kepentingan). Pendapat ini mendapat dukungan dari Ketua Dewan
Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Adnan Buyung Nasution
yang sering menerima keluhan dari temannya di pemerintahan (Koran Tempo,
17 Nopember 2011).
Hukum Dan Kekuasaan
Konsep dasar kekuasaan adalah orang lain
melaksanakan sesuatu/kegiatan atas perintah/suruhan orang lain (orang
melaksanakan atas keinginan orang lain). Meskipun sesuatu yang ia
kerjakan disenangi atau tidak disenangi (terpaksa).
Pemerintah yang mempunyai otoritas dalam
mengatur rakyat untuk menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahannya,
tentu keta’atan rakyat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga
negara diikat dalam sebuah aturan/UU. Maka bagaimanapun rakyat harus
ta’at menjalankan yang telah diatur dalam ketentuan/UU. Pelanggaran
menyebabkan sanksi hukum harus diterima.
Nonet dan Seiznick lebih jauh lagi
mensinyalir hubungan hukum dengan kekuasaan yang bersifat menindas.
Dikatakannya, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat
menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan masalah kemiskinan
sumberdaya pada elite pemerintah…Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak
terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan
kekuasaan (Moh. Mahfud MD, 2009).
Statemen ini menggambarkan betapa hukum
dalam penterapannya tidak banyak menguntungkan rakyat, rakyat selalu
menjadi sasaran objek sehingga ada pameo yang berkembang dalam
masyarakat “Undang-undang untuk orang kecil, undangan untuk orang
besar/pejabat”. Betapa tidak berdayanya masyarakat dalam hal ini.
Di era Orde Baru yang disebut Karl D.
Jackson karakteristik politiknya menempatkan negara pada posisi sangat
dominan politik birokratis. Dalam model ini kekuasaan dan partisipasi
politik dalam pembuatan keputusan terbatas pada para penguasa, terutama
para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Dalam model ini ada
tiga cirri utama yaitu : Pertama, Lembaga poltik didominasi oleh
birokrasi. Kedua, Lembaga poltik lain seperti parlemen, parpol, dan
intrest group berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu
mengimbangi atau mengontrol kekuasaan birokrasi. Ketiga, Massa di luar
birokrasi secara poltik adalah pasif (Mahfud MD, Politik Hukum Di
Indonesia).
Maka pada zaman Soeharto begitu
merajalela kekuasaan yang dikawal dengan produk-produk hukum yang cukup
ketat untuk mengamankan kekuasaan/pemerintahan. Demikian pula kalau ada
pelanggaran, sanksinya tidak kompromistis, lebih-lebih undang-undang
yang berkaitan dengan keamanan dan kekuasaan itu sendiri. Permerintah
pada sa’at itu berdalih demi untuk pembangunan—pembangunan yang hanya
dititiktekankan pada bidang ekonomi/kesejahteraan. Ada gejolak berarti
pelanggagaran UU, pelanggaran UU berarti mengganggu/menghambat
pembangunan. Menghambat pembangunan berarti suversif. Dan kalau sudah
dimasukkan kedalam kategori ini tentu tahu sendiri hukuman berat yang
akan dipikulnya. Begitulah hukum dalam konteks kekuasaan.
Penutup
DPR dan DPRD di era reformasi ini adalah
representasi rakyat, maka eksistensinya adalah rakyat. Dia dipilih
rakyat, masuk ke gedung parleman/gedung DPRD membawa tiket
rakyat/konstituen. Nurani yang dibangun dalam membuat peraturan/UU harus
berpihak kepada rakyat, bukankah pula sesungguhnya negara atau
pemerintah melayani atau mempasilitas rakyat. Ingat teori Thomas Hobes
tentang terjadinya negara, kontrak social karena masyarakat atau
individu tidak bisa melayani keinginan/kebutuhana rakyat secara
maksimal, maka sepakatlah dibentuk negara dengan harapan agar dapat
memberi kepuasan kepada rakyat.
Diharap produk hukum yang lahir atau
revisi di era sekarang adalah peraturan/UU yang responsif dengan
memperhatikan kondisi sosial budaya, ekonomi dan pluralistik, sehingga
rakyat merasa terlindungi dan tidak terlalu memberatkan. Lebih jauh lagi
rakyat/masyarakat merasa bahwa partisipasi politiknya pada pemilu lalu
dapat mereka rasakan secara langsung sa’at ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar