Selasa, 01 Mei 2012

Politik Hukum Dalam Sebuah Pembahasan

Oleh Drs. Azkar Badri, M.Si

Pendahuluan.
Politik menurut Kamus Politik adalah seni mengatur dan mengurus negara. Politik mencakup kebijaksanaan/tindakan yang bermaksud mengambil bagian dalam urusan kenegaraan/pemerintahan termasuk yang menyangkut penetapan bentuk, tugas dan lingkup urusan negara.
Sementara definisi Politik Hukum menurut Moh. Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum Di Indonesia, Politik Hukum adalah Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Seiring dengan itu disitir pendapat Padmo Wahjono bahwa Poltik Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Kemudian Teuku Mohammad Radhie yang mengatakan Poltik Hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Soedarto mantan ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatakan Poltik Hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-caitakan.   
Dengan gampangnya bahwa Politik Hukum adalah kebijakan tentang hukum yang akan diberlakukan dan yang dicabut oleh penguasa negara untuk mencapai tujuan negara/pemerintah.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa negara mempunyai tujuan dalam hal hukum, dimana tujuan tersebut agar tercapai dengan maksimal, maka diperlukan hukum yang akan mengawal dari proses untuk mencapai tujuan, hukum  yang diberlakukan maupun yang dicabut atau tidak diberlakukan.
Hukum sebagai produk poltik ?
Politik dan Hukum mana yang lebih dulu, apakah poltik melahirkan hukum atau hukum melahirkan politik. Mungkin pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan antara telor dan ayam, mana yang lebih duluan. Apakah ayam melahirkan telor atau telor melahirkan ayam. Mungkin analogi ini tidak jauh beda.
Dalam buku Moh. Mahfud MD Politik Hukum Di Indonesia dikatakan, …hukum sebagai produk politik dalam pandangan awam bias dipersoalkan, sebab pernyataan tersebut memposisikan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan yang ditentukan oleh politik. Apalagi dalam tataran ide atau cita hukum, lebih-lebih di negara yang menganut supremasi hukum, politiklah yang harus diposisikan sebagai variabel yang terpengaruh (dependent vaiable) oleh hukum.
Kita mungkin tidak meperdebatkan mana yang lebih dulu atau mana yang mempengaruhi (ketergantungan) antara keduanya. Yang jelas Politik Hukum adalah hukum dimana dia lahir dan hidup akan dipengaruhi poltik dalam suatu negara (legislative dan eksekiutif)  yang tentu mempertimbangkan kondisi lingkungan/wilayahnya.
Lebih lanjut Mahfud MD mengatakan, Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat Undang-Undang (UU) sebagai produk hukum pada hakekatnya merupakan adegan kontestasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan poltik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan mejadi UU. UU lahir dari kontestasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan kontestasi politik itu.
Produk-produk hukum yang dilahirkan oleh kekuatan poltik di parlemen (legislative dan eksekutif) sangat dipengaruhi oleh bagaimana iklim politik berlangsung antara kedua kekuatan politik tersebut. Apakah lebih dominant kekuatan politik legialatif atau kekuatan politik yang dimainkan oleh eksekutif dalam konteks kepentingan.
Dengan kata lain, manakala kekuatan politik di DPR minimal sama dengan kekuatan poltik pemerintah (iklim demokratis), maka akan melahirkan UU yang membumi atau populis (responsive). Begitu pula sebaliknya, jika kekuatan politik pemerintah lebih kuat ketimbang kekuatan poltik legislative (iklim otoriter), maka akan melahirkan UU yang tidak pro rakyat . Sebut saja contoh misal UU Pokok Pers pada zaman Orde Baru, dimana DPR tidak berdaya memberikan masukan yang berbeda dengan pemerintah, DPR sa’at itu hanya dianggap tukang stempel UU yang sesuangguhnya produk penguasa/ pemerintah. Kita masih ingat betapa banyaknya penerbitan pers yang dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) lantaran memberitakan yang dianggap berita yang tidak bertanggungjawab. Menyebabkan perusahan penerbitan pers tersebut gulung tikar dan banyak wartawan dan karyawannya terlantar.
Di era reformasi, dimana iklim demokrasi dalam kehidupan poltik sudah berjalan. Kita melihat kekuatan-kekuatan politik seperti DPR, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok civil society lainnya cukup mempengaruhi dalam melahirkan UU di parlemen.
Yang masih segar diingatan kita bagaimana besarnya desakan kelompok masyarakat (meskipun terbatas masyarakat tertentu) terhadap RUU Pornografi Dan  Pornoaksi, sehingga rancangan UU tersebut mati sebelum lahir, kemudian gantinya lahir UU Pornografi. Itupun masih banyak menimbulkan protes dan pengujian yudisial (judicial review) di MK dari masyarakat.
DPR sebagai representasi rakyat, mewakili rakyat, maka tentu dalam membuat/ melahirkan produk  hokum akan berpihak kepada  kepentingan-kepentingan dengan memperhatikan  aspirasi  yang berkembang dalam masyarakat. Namun terkadang masih  banyak juga yang tidak terlalu jauh memikirkan kepentingan masyarakat banyak yang ia mandati. Kita sering menemui persengkokolan antara legislatif  dengan eksekutif dalam produk hukum, sehingga rakyat selalu dirugi dan pemerintah bahkan pihak DPR menikmati keuntungan dari bargaining (persengkokolan) tersebut. Begitu juga dengan pihak lain, pihak pengusaha. Misalnya masalah  tenaga kerja/buruh, buruh yang dirugikan. Perusahaan tidak ada lagi yang memperkerjakan buruh sebagai karyawan tetap. Yang ada buruh honor dari pihak ketiga dengan ruang waktu yang sangat pendek. Buruh terancam PHK setiap sa’at dan perusahaan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan uang pesangon. Perusahaan sangat aman sekali.
Menurut analisis Prof. DR. Mahfud MD Ketua Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2003 melakukan uji materi  sebanyak 406 kali pengujian Undang-Undang, 97 diantarnya dikabulkan karena melanggar konstitusi. Ini membuktikan bahwa kualitas legislasi yang buruk akibat memihak kepentingan tertentu (istilah Mahfud MD, jual beli kepentingan). Pendapat ini mendapat dukungan dari Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Adnan Buyung Nasution yang sering menerima keluhan dari temannya di pemerintahan (Koran Tempo, 17 Nopember 2011).
Hukum Dan Kekuasaan
Konsep dasar kekuasaan adalah orang lain melaksanakan sesuatu/kegiatan atas perintah/suruhan orang lain (orang melaksanakan atas keinginan orang lain). Meskipun sesuatu yang ia kerjakan disenangi atau tidak disenangi (terpaksa).
Pemerintah yang mempunyai otoritas dalam mengatur rakyat untuk menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahannya, tentu keta’atan rakyat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara diikat dalam sebuah aturan/UU. Maka bagaimanapun rakyat harus ta’at menjalankan yang telah diatur dalam ketentuan/UU. Pelanggaran menyebabkan sanksi hukum harus diterima.
Nonet dan Seiznick lebih jauh lagi mensinyalir hubungan hukum dengan kekuasaan yang bersifat menindas. Dikatakannya, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumberdaya pada elite pemerintah…Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan (Moh. Mahfud MD, 2009).
Statemen ini menggambarkan betapa hukum dalam penterapannya tidak banyak menguntungkan rakyat, rakyat selalu menjadi sasaran objek sehingga ada pameo yang berkembang dalam masyarakat “Undang-undang untuk orang kecil, undangan untuk orang besar/pejabat”. Betapa tidak berdayanya masyarakat dalam hal ini.
Di era Orde Baru yang disebut Karl D. Jackson karakteristik politiknya menempatkan negara pada posisi sangat dominan politik birokratis. Dalam model ini kekuasaan dan partisipasi politik dalam pembuatan keputusan terbatas pada para penguasa, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Dalam model ini ada tiga cirri utama yaitu : Pertama, Lembaga poltik didominasi oleh birokrasi. Kedua, Lembaga poltik lain seperti parlemen, parpol, dan intrest group berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuasaan birokrasi. Ketiga, Massa di luar birokrasi secara poltik adalah pasif (Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia).
Maka pada zaman Soeharto begitu merajalela kekuasaan yang dikawal dengan produk-produk  hukum yang cukup ketat untuk mengamankan kekuasaan/pemerintahan. Demikian pula kalau ada pelanggaran, sanksinya tidak kompromistis, lebih-lebih undang-undang yang berkaitan dengan keamanan dan kekuasaan itu sendiri. Permerintah pada sa’at itu berdalih demi untuk pembangunan—pembangunan yang hanya dititiktekankan pada bidang ekonomi/kesejahteraan. Ada gejolak berarti pelanggagaran UU, pelanggaran UU berarti mengganggu/menghambat pembangunan. Menghambat pembangunan berarti suversif. Dan kalau sudah dimasukkan kedalam kategori ini tentu tahu sendiri hukuman berat yang akan dipikulnya. Begitulah hukum dalam konteks kekuasaan.
Penutup
DPR dan DPRD di era reformasi ini adalah representasi rakyat, maka eksistensinya adalah rakyat. Dia dipilih rakyat, masuk ke gedung parleman/gedung DPRD membawa tiket rakyat/konstituen. Nurani yang dibangun dalam membuat peraturan/UU harus berpihak kepada rakyat, bukankah pula sesungguhnya negara atau pemerintah melayani atau mempasilitas rakyat. Ingat teori Thomas Hobes tentang terjadinya negara, kontrak social karena masyarakat atau individu tidak bisa melayani keinginan/kebutuhana rakyat secara maksimal, maka sepakatlah dibentuk negara dengan harapan agar dapat memberi kepuasan kepada rakyat.
Diharap produk hukum yang lahir atau revisi di era sekarang adalah peraturan/UU yang responsif dengan memperhatikan kondisi sosial budaya, ekonomi dan pluralistik, sehingga rakyat merasa terlindungi dan tidak terlalu memberatkan. Lebih jauh lagi rakyat/masyarakat merasa bahwa partisipasi politiknya pada pemilu lalu dapat mereka rasakan secara langsung sa’at ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar