Negeri ini seolah sedang memasuki hukum rimba. Satu per satu kasus
hukum muncul lalu memangsa yang lain hingga lenyap. Para penegak hukum
pun berakrobat memamerkan kepiawaian merekayasa perkara.
Yang
mempunyai jejaring kuat dialah yang menang. Sungguh publik dibuat
tercengang dan kagum. Penegak hukum dengan mudah menciptakan pasar
lelang perkara. Penyelesaian kasus sesuai selera dan argo bayaran yang
menggembungkan rekening penegak hukum.
Proses
hukum sebuah kasus hanya diketahui segelintir orang di balik ruang
tertutup. Publik dianggap tidak patut mengetahui dengan dalih memasuki
materi hukum. Padahal penegak hukum sedang mengalami erosi kepercayaan
publik.
Simak saja kasus hukum yang muncul
akhir-akhir ini. Ujung kasus Bank Century masih gelap meski Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mencoba membuatnya terang. Lihat pula kasus
korupsi wisma atlet yang dilakukan oleh M Nazarudin yang berakir dengan
vonis empat tahun sepuluh bulan. Lihat juga kasus dugaan makelar perkara
di Mabes Polri yang melibatkan perwira tinggi Polri. Sang pelapor
diuber-uber, sementara sejumlah nama yang disebut malah tidak
tersentuh.
Simak pula keterampilan hakim,
jaksa, dan pengacara menyulap kasus yang berujung pada vonis bebas sang
terdakwa. Publik pun dengan leluasa menyaksikan pameran egoisme lembaga
negara.
Kita pun terkesima menyaksikan jaksa
menggiring para janda pahlawan yang sudah renta ke ruang sidang. Kita
menyaksikan pemandangan yang kontras betapa dewi keadilan dengan enteng
menebas hak-hak kaum jelata.
Sungguh prihatin
hidup di sebuah negara yang mengagungkan hukum, tetapi tidak memiliki
politik hukum. Hukum dibiarkan berkembang liar dan mencari jalannya
sendiri. Penegak hukum leluasa mendagangkan perkara dan melelang
pasal-pasal. Makelar dan mafia hukum pun berjaya.
Negara
ini tidak punya politik hukum. Kita tidak tahu entah ke mana negara
yang katanya negara hukum ini hendak dibawa. Sejujurnya kita khawatir
dengan pernyataan “tidak mau mengintervensi proses hukum”.
Pernyataan
yang arif bijaksana, tetapi juga merupakan tempat berlindung atas
ketidakberdayaan mengatasi masalah mafia hukum yang sudah berkarat.
Pernyataan ‘tidak mau mengintervensi proses hukum’ justru merupakan
lahan persemaian yang subur bagi mafia perkara.
Berbicara
masalah hukum tentu saja tidak bisa kita lepaskan dari permasalahan HAM
(Hak Asasi Manusia), sebab, antara HAM dan hukum jalan beriringan satu
sama lainnya. Ketika praktik hukum tidak dijalankan sesuai dengan
koridor dan kaidah hukum yang berlaku, maka mau tidak mau akan ada orang
yang menjadi korban dari proses ketidakadilan tersebut.
Hilangnya Sensitivitas
Melihat
beberapa fenomena di atas, yang sesungguhnya terjadi adalah semakin
surutnya penegakan HAM di negeri ini. Involusi Hak Asasi Manusia terjadi
seiring dengan semakin memudarnya kesadaran serta sensitivitas
masyarakat terhadap pelanggaran HAM.
Ada
beberapa hal yang menyebabkan memudarnya sensitivitas tersebut. Pertama,
masyarakat kita mengalami semacam demam demokratisasi. Namun, karena
basis kultur yang belum terbangun, corak demokratisasi yang berlangsung
menjadi sangat prosedural sifatnya. Dalam konteks ini, pemahaman
terhadap pelanggaran HAM juga mengalami pergeseran.
Tindakan
orang-orang atau lembaga-lembaga yang ‘’sudah mengikuti prosedur,’’
katanya, terkadang terlewatkan dari pengamatan perspektif penegakan HAM.
Kasus-kasus penggusuran yang dilakukan oleh Pemda di berbagai daerah,
atau putusan-putusan diskriminatif pengadilan adalah contoh nyata atas
persoalan ini.
Kedua, terpakunya wacana HAM di
masa lalu kepada kasus-kasus besar. Pemahaman banyak orang terhadap Hak
Asasi Manusia di negara ini, cenderung digiring oleh kasus-kasus besar
semacam pembunuhan massal di Dili, kasus Marsinah, penculikan mahasiswa
tahun 1998 dan kasus-kasus besar lainnya.
Sementara
dengan iklim demokrasi dan keterbukaan yang jauh lebih baik dibanding
masa lalu, kejahatan-kejahatan kemanusiaan seperti itu agaknya akan jauh
berkurang volumenya. Ketika kasus seperti itu sudah tidak ada, orang
cenderung menganggap bahwa HAM sudah ditegakkan di Indoensia. Tapi,
kalau kita melihat dalam dataran rakyat kecil, kasus pelanggaran HAM
masih banyak berserakan dimana-mana.
Ketiga,
tersedotnya perhatian masyarakat kepada isu-isu baru semacam kenaikan
BBM, terorisme, dan terutama dimensi ekonomi negara. Sehingga, ketika
ada segelintir orang yang bersorak tentang pelanggaran HAM, orang lain
hanya diam, tak ada yang menyahut karena mereka memang sibuk dengan
penderitaan mereka sendiri.
Dalam menyikapi
persoalan ini, sudah seharusnya pemerintahan kita menegakkan keadilan di
negeri ini, menyelesaikan satu per satu masalah yang pelanggaan HAM
yang terjadi. Memang sulit mengungkap dan menyelesaikan kasus semisal
pelanggaan HAM tersebut dalam hitungan hari, namun, alangkah sulitnya
kalau kasus tersebut tidak penah disentuh sama sekali oleh aparatur
pemerintahan kita.
Ataukah mungkin nurani
pemerintahan kita yang sudah mengkristal bak es di Kutub Utara dan lapuk
dalam catatan seiring dengan perputaran zaman, sehingga tidak ambil
pusing dengan urusan dalam negeri sendiri. Bisa dibilang, sekarang ini
sensifitas para pengelola negara sudah hilang, mereka lebih mementingkan
urusan kelompok dan golongan, entah disengaja atau tidak, mereka
melupakan janji-janji manis ketika melakukan kampanye tempo dulu.***
Endrizal, Dosen STISIP Persada Bunda Pekanbaru dan Pengurus Institute of Social Empowerment and Development (ISED) Pekanbaru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar