Selasa, 01 Mei 2012

Negara Tanpa Politik Hukum

Negeri ini seolah sedang memasuki hukum rimba. Satu per satu kasus hukum muncul lalu memangsa yang lain hingga lenyap. Para penegak hukum pun berakrobat memamerkan kepiawaian merekayasa perkara. 

Yang mempunyai jejaring kuat dialah yang menang. Sungguh publik dibuat tercengang dan kagum. Penegak hukum dengan mudah menciptakan pasar lelang perkara. Penyelesaian kasus sesuai selera dan argo bayaran yang menggembungkan rekening penegak hukum. 

Proses hukum sebuah kasus hanya diketahui segelintir orang di balik ruang tertutup. Publik dianggap tidak patut mengetahui dengan dalih memasuki materi hukum. Padahal penegak hukum sedang mengalami erosi kepercayaan publik. 

Simak saja kasus hukum yang muncul akhir-akhir ini. Ujung kasus Bank Century masih gelap meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencoba membuatnya terang. Lihat pula kasus korupsi wisma atlet yang dilakukan oleh M Nazarudin yang berakir dengan vonis empat tahun sepuluh bulan. Lihat juga kasus dugaan makelar perkara di Mabes Polri yang melibatkan perwira tinggi Polri. Sang pelapor diuber-uber, sementara sejumlah nama yang disebut malah tidak tersentuh. 

Simak pula keterampilan hakim, jaksa, dan pengacara menyulap kasus yang berujung pada vonis bebas sang terdakwa. Publik pun dengan leluasa menyaksikan pameran egoisme lembaga negara. 

Kita pun terkesima menyaksikan jaksa menggiring para janda pahlawan yang sudah renta ke ruang sidang. Kita menyaksikan pemandangan yang kontras betapa dewi keadilan dengan enteng menebas hak-hak kaum jelata. 

Sungguh prihatin hidup di sebuah negara yang mengagungkan hukum, tetapi tidak memiliki politik hukum. Hukum dibiarkan berkembang liar dan mencari jalannya sendiri. Penegak hukum leluasa mendagangkan perkara dan melelang pasal-pasal. Makelar dan mafia hukum pun berjaya. 

Negara ini tidak punya politik hukum. Kita tidak tahu entah ke mana negara yang katanya negara hukum ini hendak dibawa. Sejujurnya kita khawatir dengan pernyataan “tidak mau mengintervensi proses hukum”. 

Pernyataan yang arif bijaksana, tetapi juga merupakan tempat berlindung atas ketidakberdayaan mengatasi masalah mafia hukum yang sudah berkarat. Pernyataan ‘tidak mau mengintervensi proses hukum’ justru merupakan lahan persemaian yang subur bagi mafia perkara.

Berbicara masalah hukum tentu saja tidak bisa kita lepaskan dari permasalahan HAM (Hak Asasi Manusia), sebab, antara HAM dan hukum jalan beriringan satu sama lainnya. Ketika praktik hukum tidak dijalankan sesuai dengan koridor dan kaidah hukum yang berlaku, maka mau tidak mau akan ada orang yang menjadi korban dari proses ketidakadilan tersebut.

Hilangnya Sensitivitas
Melihat beberapa fenomena di atas, yang sesungguhnya terjadi adalah semakin surutnya penegakan HAM di negeri ini. Involusi Hak Asasi Manusia terjadi seiring dengan semakin memudarnya kesadaran serta sensitivitas masyarakat terhadap pelanggaran HAM.

 Ada beberapa hal yang menyebabkan memudarnya sensitivitas tersebut. Pertama, masyarakat kita mengalami semacam demam demokratisasi. Namun, karena basis kultur yang belum terbangun, corak demokratisasi yang berlangsung menjadi sangat prosedural sifatnya. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap pelanggaran HAM juga mengalami pergeseran. 

Tindakan orang-orang atau lembaga-lembaga yang ‘’sudah mengikuti prosedur,’’ katanya, terkadang terlewatkan dari pengamatan perspektif penegakan HAM. Kasus-kasus penggusuran yang dilakukan oleh Pemda di berbagai daerah, atau putusan-putusan diskriminatif pengadilan adalah contoh nyata atas persoalan ini.

Kedua, terpakunya wacana HAM di masa lalu kepada kasus-kasus besar. Pemahaman banyak orang terhadap Hak Asasi Manusia di negara ini, cenderung digiring oleh kasus-kasus besar semacam pembunuhan massal di Dili, kasus Marsinah, penculikan mahasiswa tahun 1998 dan kasus-kasus besar lainnya.

 Sementara dengan iklim demokrasi dan keterbukaan yang jauh lebih baik dibanding masa lalu, kejahatan-kejahatan kemanusiaan seperti itu agaknya akan jauh berkurang volumenya. Ketika kasus seperti itu sudah tidak ada, orang cenderung menganggap bahwa HAM sudah ditegakkan di Indoensia. Tapi, kalau kita melihat dalam dataran rakyat kecil, kasus pelanggaran HAM masih banyak berserakan dimana-mana. 

Ketiga, tersedotnya perhatian masyarakat kepada isu-isu baru semacam kenaikan BBM, terorisme, dan terutama dimensi ekonomi negara. Sehingga, ketika ada segelintir orang yang bersorak tentang pelanggaran HAM, orang lain hanya diam, tak ada yang menyahut karena mereka memang sibuk dengan penderitaan mereka sendiri. 

Dalam menyikapi persoalan ini, sudah seharusnya pemerintahan kita menegakkan keadilan di negeri ini, menyelesaikan satu per satu masalah yang pelanggaan HAM yang terjadi. Memang sulit mengungkap dan menyelesaikan kasus semisal pelanggaan HAM tersebut dalam hitungan hari, namun, alangkah sulitnya kalau kasus tersebut tidak penah disentuh sama sekali oleh aparatur pemerintahan kita. 

Ataukah mungkin nurani pemerintahan kita yang sudah mengkristal bak es di Kutub Utara dan lapuk dalam catatan seiring dengan perputaran zaman, sehingga tidak ambil pusing dengan urusan dalam negeri sendiri. Bisa dibilang, sekarang ini sensifitas para pengelola negara sudah hilang, mereka lebih mementingkan urusan kelompok dan golongan, entah disengaja atau tidak, mereka melupakan janji-janji manis ketika melakukan kampanye tempo dulu.***  

Endrizal, Dosen STISIP Persada Bunda Pekanbaru dan Pengurus Institute of Social Empowerment and Development (ISED) Pekanbaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar