Soal klaim wilayah Indonesia, ternyata
bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor Leste,
negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh
sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste
dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah
Utara (RI) dengan Timor Leste.
Permasalahan perbatasan antara RI
dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan
antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan
dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan
penyelesaian.
Raja Amfoang, Robi Manoh mendesak
pemerintah Indonesia segera menyelesaikan batas wilayah di Natuka,
Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT)
dengan pemerintah Timor Leste.
“Natuka adalah wilayah kita
(Indonesia) dan dinyatakan sebagai zona bebas oleh kedua negara. Namun,
rakyat Oecusse tetap mengklaim sebagai wilayah daratan Timor Leste
sehingga menyerobot masuk sampai sejauh lima kilometer untuk berkebun di
dalamnya,” kata Raja Manoh di Kupang, Minggu.
Atas dasar itu, ia mendesak
pemerintah Indonesia segera melakukan perundingan dengan Timor Leste
untuk segera menyelesaikan batas wilayah antarkedua negara di Natuka,
Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, NTT itu guna mencegah
terjadinya konflik antara rakyat Amfoang dengan masyarakat Oecusse di
wilayah kantung (enclave) Timor Leste.
Raja Manoh berpendapat, untuk
menyelesaikan batas wilayah tersebut, pemerintah harus melibatkan
raja-raja di Timor seperti raja Amfoang, Timor Tengah Utara, Atambua dan
raja Ambeno. “Jika diselesaikan secara administratif pemerintahan
antara kedua negara, saya optimistis wilayah tersebut akan jatuh ke
tangan Timor Leste. Karena itu, para raja di Timor juga harus
dilibatkan,” katanya.
Ia mengungkapkan, batas wilayah
yang sebenarnya antara RI-Timor Leste adalah Tepas, karena di tempat
itulah dijadikan sebagai tempat pertemuan antara Raja Ambeno Oecusse
dengan Raja Amfoang. “Raja Ambeno Oecusse sudah mengakui bahwa wilayah
Natuka adalah milik Indonesia, namun sudah diserobot masuk oleh penduduk
Oecusse untuk berkebun. Ini sudah tidak benar lagi,” katanya
menegaskan.
Manoh menjelaskan, batas wilayah
yang diserobot penduduk Oecusse dan diklaim sebagai daratan Timor Leste
itu, karena mengacu pada batas wilayah provinsi yang ditetapkan ketika
Timor Leste masih menjadi bagian dari provinsi ke-27 Indonesia.
“Guna menghindari terjadinya
konflik di tapal batas, kami harapkan pemerintah Indonesia dan Timor
Leste segera berunding untuk menyelesaikan batas wilayah kedua negara di
Natuka,” katanya. “Masyarakat kami di sana (Amfoang) sudah menyatakan
siap berperang melawan warga Oecusse jika persoalan tapal batas tidak
segera diselesaikan oleh kedua negara,” tambahnya.
Masalah perbatasan antara
Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini
belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lima
titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu
Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga
Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten
Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah
Utara (TTU).
“Lima titik yang belum final
tersebut masih menunggu mediasi yang dilakukan PBB bersama pemerintah RI
dan Timor Leste,” kata Asisten Pemerintahan dan Kesejateraan Rakyat
Setda Nusa Tenggara Timur (NTT), Yoseph Aman Mamulak usai menghadiri
pertemuan membahas persoalan perbatasan yang digelar Lantamal VII Kupang
di Kupang, Kamis.
Dia mengatakan, berlarutnya
penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan
batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. “Bagaimana kita menetapkan
batas laut, kalau darat saja belum selesai,” katanya.
Di lima titik tersebut, ada dua hal
yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni penetapan batas
apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.
“Tanah yang dipersoalkan di perbatasan merupakan tanah ulayat yang
menurut warga tidak boleh dipisahkan,” katanya.
Semula, kata Mamulak, pemerintah
Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai
terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu
berubah-ubah. “Terkadang alur sungai masuk lebih jauh ke wilayah
Indonesia, tetapi kadang masuk ke wilayah Timor Leste,” katanya.
Selain itu, ternak milik warga di
perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua
negara. Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa
menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.
Dia mengatakan, warga kedua negara
yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka,
karena menyangkut persoalan batas negara. “Penyelesaian masalah
perbatasan bisa dilakukan dengan adat setempat, “katanya.
Departemen Luar Negeri (Deplu)
menyurvei daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, terutama
di lima titik yang masih menjadi sengketa. “Kami datang untuk
mengumpulkan data di daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor
Leste,” kata ketua tim survei Deplu, Dodie Herado, setelah bertemu
dengan Pemerintah Provinsi NTT di Kupang, Rabu.
Lokasi yang akan di survei adalah
lima titik batas negara antara Indonesia dan Timor Leste yang belum
terselesaikan, yakni Imbate, Sumkaen, Haumeniana, Nilulat dan Tubana
antara Oecusse dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Hasil survei ini,
katanya, akan disampaikan ke Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan
Wirajuda, yang selanjutnya akan disampaikan ke DPR untuk dikoordinasikan
dengan Pemerintah Timor Leste untuk menetapkan batas wilayah.
Survei antara lain menyangkut
masalah keamanan di perbatasan, karena berdasarkan laporan yang masuk ke
Deplu, aparat di perbatasan kesulitan mengamankan perbatasan karena
minimnya anggaran. “Kami juga akan melihat sarana-prasarana bagi aparat
keamanan yang berada di perbatasan, seperti gedung dan lainnya,”
katanya.
Tim ini, lanjut dia, juga akan
memantau pelintas batas yang berkunjung ke Timor Leste maupun Indonesia.
Pelintas batas antara kedua negara tersebut harus disiapkan kartu
identitas. Selain itu, tim juga akan mencermati penangkapan terhadap
warga Indonesia di Timor Leste, seperti yang dialami oleh Sekretaris
Kecamatan Kobalima Timur, Kabupaten Belu yang ditangkap aparat keamanan
Timor Leste beberapa waktu lalu. “Kami juga mendapat infomasi bahwa
warga Indonesia ditangkap di Timor Leste. Hal itu juga akan kami cermati
untuk dilaporkan,” katanya.
Hasil survei ini, tambah dia, juga
akan digunakan untuk meminimakan akses di perbatasan antara kedua
negara, terutama di perbatasan antara masyarakat Oecusse dan Kecamatan
Amfoang Timur, Kabupaten Kupang yang telah terjadi penyerobotan lahan.
Langkah itu untuk menghindari kemungkinan terjadi konflik antara
masyarakat di perbatasan.
Menyangkut penyelesaian batas wilayah,
ia mengatakan harus melibatkan masyarakat adat di perbatasan. Karena
itu, pihaknya juga akan menerima rekomendasi dari masyarakat adat di
perbatasan untuk menyelesaian masalah perbatasan antara kedua negara.
“Masyarakat adat di perbatasan antara kedua negara perlu dilibatkan,
tapi keterlibatan mereka tidak secara langsung,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar